• HOME
  • |

    Buku Tamu -- Guestbook

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Daftar Isi




  • Thursday, April 17, 2008

    Pendidikan - Pendidikan Kebutuhan Khusus

    Menuju Inklusi: Buku No. 1

    Sebuah pengantar 

    Judul asli: Education – Special Needs Education

    Versi Bahasa Inggris Diedit oleh: Berit H. Johnsen dan Miriam D. Skjørten

    Versi Bahasa Inggris Diterbitkan oleh: Unifub forlag, Universitas Oslo, 2001

    Versi Bahasa Indonesia Disponsori oleh: Departemen Pendidikan Nasional, Braillo Norway dan Universitas Pendidikan Indonesia [UPI]

    Alih Bahasa oleh Susi Septaviana Rakhmawati

    Bahasa Indonesia Diedit oleh Didi Tarsidi 

    Daftar Isi

    Kontributor
     
    Kata Pengantar
    [Monica Dalen]

    Pendahuluan
    [Berit H. Johnson]

    Bagian Satu

    Menuju Inklusi dan Pengayaan
    [Miriam Donath Skjørten]

    Perspektif Pengayaan
    [Edvard Befring]

    Membantu Anak dan Keluarga yang Berkebutuhan Khusus: Pendekatan yang Berorientasikan Sumber
    [Henning Rye]

    Bagian Dua

    Pengenalan Sejarah Pendidikan Kebutuhan Khusus menuju Inklusi
    [Berit H. Johnsen]

    Perdebatan dan Kebijakan tentang Sekolah untuk Semua dan Pendidikan Kebutuhan Khusus
    [Berit H. Johnsen]

    Pendidikan Kebutuhan Khusus sebagai sebuah Disiplin Ilmu di Universitas - Jurusan Pendidikan kebutuhan khusus, Universitas Oslo
    [Berit H. Johnsen]

    Bagian Tiga

    Bahasa dan Membaca - Perkembangan dan Kesulitannya
    [Solveig-Alma H. Lyster]

    Memahami dan Menangani bilangan
    [Snorre A. Ostad]

    Kegiatan Budaya sebagai Alat Interaksi, Komunikasi dan Inklusi
    [Miriam Donath Skjørten]

    Kurikulum untuk Pluralitas Kebutuhan Belajar Individual
    [Berit H. Johnsen]

    Bagian Empat

    Mendidik Tenaga Pendidik bagi Siswa berkebutuhan Khusus
    [Siri Wormnæs]

    Inovasi untuk Inklusi-Pengenalan terhadap Proses Perubahan
    [Kjell Skogen] 

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google

    Saturday, August 11, 2007

    StudiKasusTunarungu

    Profesi Pelukis atau Desainer Tampaknya sangat Menjanjikan bagi Andi
    (Studi Kasus terhadap Seorang Anak Tunarungu)

    Oleh Didi Tarsidi dan Permanarian Somad
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    Abstrak

    Studi kasus ini berangkat dari informasi awal yang diperoleh dari guru kelas 2 tingkat dasar pada Sekolah Luar Biasa bagi Anak Tunarungu di Bandung tentang kesulitan yang dialami oleh seorang siswanya dalam belajar bahasa. Penelusuran lebih lanjut dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang latar belakang kasus, yang mencakup kajian tentang penyebab dan saat terjadinya ketunarunguan siswa tersebut, jenis dan tingkat ketunarunguannya, serta bentuk intervensi yang pernah diterimanya. Ditemukan bahwa Kasus memiliki kemampuan matematik yang baik dan bakat menggambar yang menonjol. Saran-saran yang diajukan untuk membantu perkembangan kasus ini, serta cara-cara penanganan kasus ketunarunguan pada umumnya, dirumuskan atas dasar kajian literatur.

    Deskripsi Kasus

    Pada saat studi kasus ini dilaksanakan, Andi (nama samaran) berusia 10 tahun. Dia adalah seorang anak laki-laki, anak pertama dari tiga bersaudara. Andi menyandang ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment) dengan tingkat pendengaran 110 desibel, yang terdeteksi pada saat Andi berusia empat bulan. Jenis ketunarunguannya adalah sensorineural loss akibat rubella yang diderita ibunya pada saat mengandung. Andi dimasukkan ke SLB/B di Bandung pada usia enam tahun, dan studi kasus dilaksanakan pada saat dia duduk di kelas 2 SD. Andi dilahirkan pada pasangan keluarga Pak Toto dan Bu Titi yang sama-sama berijazah SMA. Mereka menikah pada usia 30 dan 27 tahun. Pak Toto adalah seorang wirasuastawan dalam bidang perkaosan, sedangkan Bu Titi adalah seorang ibu rumah tangga.

    II. Metode Studi

    Studi kasus ini dilaksanakan dengan wawancara kepada guru kelas, observasi terhadap kasus dalam kegiatan belajarnya di kelas, dan wawancara kepada ibu kasus. Wawancara dengan guru kelas dilakukan di sekolah, observasi dilakukan di kelas ketika Kasus sedang belajar matematika, keterampilan, dan bina persepsi bunyi Indonesia (BPBI), sedangkan wawancara dengan ibu Kasus dilakukan melalui beberapa percakapan telepon.

    Temuan

    Andi adalah anak pertama dari pasangan Bapak Toto dan Ibu Titi. Pada saat Ibu Titi mengandung tujuh bulan, dia terserang rubella selama dua minggu, dan petugas kesehatan memperingatkan kepadanya tentang kemungkinan terjadi kelainan pada bayinya.
    Pada saat Andi lahir, Ibu Titi merasa lega karena tidak melihat tanda-tanda kelainan pada bayinya itu. Akan tetapi, ketika Andi berusia empat bulan, Ibu Titi mulai mencurigai sesuatu. Bila Ibu Titi membunyi-bunyikan mainan di hadapannya, Andi segera merespon dengan berusaha menggapainya, tetapi bila hal itu dilakukan dari arah belakangnya, Andi tidak bereaksi apa-apa - berbeda dari respon yang diberikan oleh bayi pada umumnya, yang akan segera menoleh ke arah bunyi mainan itu. Didorong oleh keinginan untuk meyakinkan apa yang dikhawatirkannya, Ibu Titi mencoba dengan cara lain: dia membunyikan sesuatu keras-keras pada saat Andi sedang tidur, tetapi bayi itu tidak pernah tampak terganggu betapa pun kerasnya bunyi yang dibuat oleh ibunya itu.
    Ibu Titi berasal dari keluarga besar dengan banyak adik, sehingga dia sudah terbiasa mengasuh adik-adiknya dan banyak belajar tentang perilaku bayi. Perilaku Andi meyakinkan Ibu Titi bahwa sesuatu yang tidak diharapkan telah terjadi pada anaknya itu. Maka Pak Toto dan Bu Titi segera berkonsultasi dengan dokter spesialis anak, tetapi dokter itu selalu meyakinkannya bahwa tidak ada sesuatu yang berkelainan pada fisik Andi.
    Ke dokter THT. Didorong oleh kecurigaannya terhadap kondisi pendengaran Andi, Pak Toto dan Bu Titi membawanya ke dokter spesialis THT ketika dia berumur satu tahun. Dokter THT itu mengkonfirmasi kecurigaan mereka: terdapat kelainan dalam sistem pendengaran Andi. Tes yang lebih seksama baru dilakukan ketika Andi berumur dua tahun, dan ditemukan bahwa kedua belah telinganya hanya dapat menerima stimulus bunyi pada intensitas 110 desibel, dan gangguan terjadi pada syaraf pendengarannya. Ini berarti bahwa ketunarunguan yang dialami Andi termasuk klasifikasi berat sekali (profound hearing impairment).

    Setelah Bapak dan Ibu Toto mengetahui kondisi anaknya yang sesungguhnya, kini mereka dihadapkan pada masalah psikologis untuk menerima realita itu. Mereka memperoleh informasi bahwa klinik Yayasan Surya Kanti di Bandung bergerak dibidang pengembangan potensi anak dengan mendeteksi, mengintervensi serta memberikan terapi sedini mungkin bagi anak balita yang mengalami gangguan perkembangan, dan bahwa Andi dapat lebih baik perkembangannya dengan layanan semacam ini. Akan tetapi, kedua orang tua ini masih menyimpan harapan bahwa anaknya itu akan dapat disembuhkan. Maka, setelah upaya medis menemui jalan buntu, mereka mencoba berbagai cara penyembuhan alternatif bagi buah hatinya itu. Baru setelah sekitar tiga tahun berlalu tanpa hasil kecuali terkurasnya sumber dana keluarga, mereka menyadari bahwa kondisi anaknya itu merupakan takdir Tuhan yang harus mereka terima dengan keikhlasan.
    Maka ketika Andi berusia enam tahun, mereka memasukkannya ke sekolah khusus bagi anak-anak tunarungu (SLB/B) di Bandung. Mereka mendapati bahwa seharusnya Andi dimasukkan ke sekolah itu lebih awal agar memperoleh penanganan lebih dini. SLB/B ini melayani anak sejak usia empat tahun, di mana anak dimasukkan ke tiga tingkat kelas persiapan (P1, P2 dan P3).
    Pada saat studi kasus ini dilakukan, Andi sudah berusia sepuluh tahun dan duduk di kelas 2 tingkat dasar. Guru kelasnya, Ibu Bet, mengidentifikasi kemampuan matematik yang sangat baik dan bakat menggambar yang menonjol pada diri Andi. "Gambarnya selalu hidup," demikian Bu Bet menuturkan. Akan tetapi, perkembangan bahasa Andi lebih lambat daripada rata-rata siswa di kelasnya.
    Pengajaran bahasa bagi siswa-siswa di sekolah ini lebih ditekankan pada penggunaan metode membaca ujaran yang dibantu dengan bahasa isyarat. Pemanfaatan sisa pendengaran tidak memperoleh penekanan yang optimal, yang tercermin dari tidak maksimalnya penekanan terhadap pentingnya penggunaan alat bantu dengar. Faktor ekonomi merupakan penyebab bagi anak-anak tertentu untuk tidak menggunakan alat bantu dengar, tetapi pada anak-anak lain faktor psikososial merupakan penyebabnya - mereka merasa malu menggunakan alat bantu dengar. Di samping itu, lingkungan auditer di sekolah ini kurang mendukung pengajaran bahasa secara aural: antara satu ruangan kelas dengan ruangan kelas lainnya dihubungkan oleh pintu, sehingga pembicaraan di kelas lain dapat terdengar dan bahkan mengganggu konsentrasi pendengaran anak terhadap pembicaraan gurunya. Kelas P1, P2 dan P3 bahkan diajar dalam satu ruangan dengan tiga orang guru.


    Diskusi

    Rubella sebagai penyebab ketunarunguan pada diri Andi, cara Bu Titi mendeteksi ketunarunguan pada bayinya, serta implikasi ketunarunguan yang diklasifikasikan sebagai berat sekali menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Di samping itu, partisipasi orang tua dalam membantu mengembangkan bahasa anaknya, metode dan pendekatan yang dipergunakan dalam pengajaran bahasa kepada Andi serta anak-anak lain di SLB/B tempat Andi bersekolah juga akan didiskusikan.

    Rubella Sebagai Penyebab Ketunarunguan

    Rubella (yang oleh masyarakat umum dikenal dengan nama campak) sering dipandang sebagai penyakit ringan. Orang dewasa maupun anak-anak biasanya tidak akan dibahayakan secara permanen oleh penyakit ini, tetapi bayi yang masih dalam kandungan dapat sangat terpengaruh. Jika seorang ibu yang sedang mengandung mengidap penyakit ini pada masa tiga bulan pertama kkehamilannya, dia sendiri mungkin tidak akan merasa sakit sama sekali, tetapi penyakit tersebut dapat berdampak kepada bayi di dalam kandungannya melalui placenta, dengan akibat yang serius. Banyak di antara bayi-bayi itu lahir tunagrahita, dan mereka juga dapat mengalami kecacatan fisik. Penyakit jantung, kesulitan pernafasan, gangguan penglihatan atau gangguan pendengaran sering dialami oleh bayi-bayi ini (Finkelstein, 1994).
    Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan seyogyanya dilakukan untuk mengurangi ancaman terha­dap janin. Anak­-anak--terutama pe­rempuan--sebaiknya divaksi­nasi agar mereka mengembangkan daya tahan terhadap rubella di kemudian hari. Wanita yang sedang hamil muda harus mengh­indari kontak dengan orang yang sedang terkena penyakit ini.

    Deteksi Dini Ketunarunguan

    Pengalaman empirik telah mengajari Ibu Titi cara tertentu untuk mendeteksi ketunarunguan secara dini. Andi tampak tidak mempunyai perhatian terhadap bunyi-bunyi.
    Easterbrooks (1997) mengemukakan tanda-tanda ketunarunguan sebagai berikut. Pada bayi atau anak kecil, tanda-tanda ketunarunguan itu mencakup tidak adanya perhatian atau adanya perhatian yang tidak konsisten, tidak adanya atau kurangnya interaksi vokal, dan tidak adanya atau sangat lambatnya perkembangan bahasa, terutama yang terkait dengan kata-kata yang diakhiri konsonan tak letup seperti t, ‑ng, atau ‑s. Pada anak-anak usia sekolah, tanda-tanda ketunarunguan itu mencakup tingginya tingkat frustrasi terhadap sekolah dan orang lain, rendahnya atau sangat menurunnya nilai-nilai pelajarannya, atau berubahnya pola perhatiannya. Pada orang dewasa, tanda-tanda tersebut dapat berupa keluhan bahwa orang lain bergumam padahal berbicara normal, atau menyalakan peralatan seperti radio atau TV terlalu keras.

    Klasifikasi dan Jenis Ketunarunguan

    Di atas dikemukakan bahwa dokter THT mengidentifikasi Andi sebagai mengalami gangguan pada syaraf pendengarannya dan hanya memiliki persepsi bunyi dengan intensitas 110 desibel, yang dikategorikan sebagai ketunarunguan berat sekali.

    Easterbrooks (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut lokasi ganguannya:
    1) Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
    2) Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf auditer yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak. (Ketunarunguan Andi tampaknya termasuk ke dalam kategori ini.)
    3) Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses auditer yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan auditer ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.

    Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994) mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:
    1) Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
    2) Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
    3) Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
    4) Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya, sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (superpower).

    Survey tahun 1981 di Australia menemukan bahwa 59% dari populasi tunarungu menyandang ketunarunguan ringan, 11% sedang, 20% berat, dan 10% tidak dapat dipastikan (Cameron, 1982, dalam Ashman dan Elkins, 1994).

    Perlu dijelaskan bahwa decibel (disingkat dB) adalah satuan ukuran intensitas bunyi. Istilah ini diambil dari nama pencipta telepon, Graham Bel, yang istrinya tunarungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan dan pendidikan bagi tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bel.
    Bagi para fisikawan, decibel merupakan ukuran tekanan bunyi, yaitu tekanan yang didesakkan oleh suatu gelombang bunyi yang melintasi udara. Dalam fisika, 0 db sama dengan tingkat tekanan yang mengakibatkan gerakan molekul udara dalam keadaan udara diam, yang hanya dapat terdeteksi dengan menggunakan instrumen fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga manusia. Oleh karena itu, di dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda, yang disebut 0 dB klinis atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam audiogram, yang merupakan grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah tingkat intensitas bunyi terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga orang rata-rata dengan telinga yang sehat pada frekuensi 1000 Hz (Ashman & Elkins, 1994).
    Metode dan Pendekatan Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
    Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.

    Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu

    Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.

    1) Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
    Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan "membaca" ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang "tersembunyi" itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).
    Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
    Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965‑66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).

    2) Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
    Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
    Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.

    3) Belajar Bahasa secara Manual
    Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.

    Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu

    Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.

    Pendekatan Auditori‑verbal

    Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori‑verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori‑verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip auditori‑verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).

    Prinsip-prinsip praktek auditori‑verbal itu adalah sebagai berikut:
    - Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
    - Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
    - Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
    - Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
    - Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
    - Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
    - Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
    - Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
    - Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
    - Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.

    Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori‑verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup "reguler". Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).

    Pendekatan Auditori‑Oral

    Pendekatan auditori‑oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997).
    Elemen-elemen pendekatan auditori‑oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
    - Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
    - Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
    - Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
    - Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.

    Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori‑oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.

    Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.


    Kesimpulan dan Implikasi

    Kasus Andi menyandang jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat ketunarunguan berat sekali, yang terjadi pada masa prabahasa, disebabkan oleh penyakit rubella yang menyerang ibunya pada saat hamil tujuh bulan. Tidak diperolehnya intervensi dini untuk membantu perkembangan bahasanya, kurang tepatnya pendekatan dan metode pengajaran bahasa yang dipergunakan, serta tidak dipergunakannya alat bantu dengar baginya, telah mengakibatkan Andi mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasanya. Bakat menggambarnya yang menonjol dan kemampuan matematiknya yang baik menunjukkan bahwa dia memiliki kapasitas kognitif yang baik, yang sangat menjanjikan keberhasilan dalam belajarnya.

    Keterampilan bahasa verbal masih realistis untuk diharapkan dari Andi apabila dia dapat memperoleh alat bantu dengar yang sesuai dengan tingkat ketunarunguannya. Tampaknya cochlear implant merupakan pilihan alat bantu dengar terbaik baginya (jika faktor harganya yang masih sangat mahal tidak menjadi bahan pertimbangan).
    Bila alat bantu dengar yang sesuai tidak dapat diperolehnya, maka penggunaan metode membaca ujaran yang dikombinasikan dengan sistem isyarat ujaran (cued speech) tampaknya merupakan pilihan metode terbaik baginya untuk dapat belajar bahasa secara efektif. Dengan metode ini, kita tidak dapat berharap banyak bahwa Andi akan dapat mengucapkan bunyi-bunyi bahasa yang bermakna, tetapi dia dapat diharapkan memiliki kemampuan memahami pembicaraan orang lain dan memiliki kecakapan berkomunikasi secara tertulis.

    Bakat menggambarnya yang sudah tampak menonjol perlu terus dipupuk, misalnya dengan memberinya pelajaran tambahan dalam bidang seni lukis atau desain. Profesi pelukis atau desainer tampaknya merupakan harapan yang realistis baginya untuk kehidupan di masa dewasanya.

    Berikut ini adalah hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah munculnya kasus-kasus serupa di masa mendatang:
    1) Penyampaian informasi yang tepat kepada masyarakat luas mengenai bahaya penyakit rubella.
    2) Pembentukan suatu lembaga layanan yang memberikan intervensi dini kepada bayi dan kanak-kanak tunarungu (serta bayi dan kanak-kanak penyandang kecacatan pada umumnya) beserta keluarganya, baik intervensi medis, pendidikan maupun sosial, yang diberikan secara profesional.
    3) Kampanye kesadaran tentang pentingnya penggunaan alat bantu dengar bagi penyandang ketunarunguan agar dapat memanfaatkan sisa pendengarannya untuk belajar bahasa verbal.

    Referensi

    Ashman, A. and Elkins, J. (eds.). (1994). Educating Children with Special Needs. Sidney: Prentice Hall of Australia Pty Ltd

    Caldwell, b. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Cued Speech.
    The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC
    EC). Tersedia: http://ericec.org/digests/e555.html

    Easterbrooks, S. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Overview. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Tersedia:
    http://ericec.org/digests/e549.html

    Finkelstein, D., dalam Jernigan, K. (1994). If Blindness Comes. Baltimore: National Federation of the Blind

    Laughton, J. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Cochlear
    Implants. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Tersedia:
    http://ericec.org/digests/e554.html

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google

    Friday, August 10, 2007

    KampanyeKetunanetraan

    KAMPANYE KESADARAN MASYARAKAT MENGENAI KETUNANETRAAN:
    Upaya Peningkatan Positivitas Sikap Masyarakat terhadap Tunanetra

    Oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    I. Pendahuluan

    Kampanye kesadaran masyarakat mengenai ketunanetraan merupakan salah satu rekomendasi yang hampir selalu muncul dalam berbagai seminar dan konferensi tentang ketunanetraan, dan SELALU TERCANTUM di dalam program kerja organisasi-organisasi ketunanetraan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Kampanye tersebut bertujuan mengubah sikap masyarakat pada umumnya terhadap para penyandang ketunanetraan agar para tunanetra memiliki kesamaan kesempatan untuk berpartisipasi penuh secara aktif, produktif dan kontributif dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat. Sesungguhnya masalah yang lebih besar yang dihadapi para tunanetra itu bukan disebabkan oleh ketunanetraannya itu sendiri, melainkan miskonsepsi masyarakat mengenai ketunanetraan yang berdampak pada terbentuknya sikap yang tidak konstruktif pada fungsi kehidupan sosial para tunanetra. Dengan pendidikan dan latihan yang tepat dan kesempatan yang seluas-luasnya, ketunanetraan tidak lebih dari sekedar kekurangan fisik. "The real problem of blindness is not the lack of eyesight. The real problem is the misunderstanding and lack of information which exist. If a blind person has proper training and opportunity, blindness is only a physical nuisance." (National Federation of the Blind, U.S.A, www.nfb.org).
    Sikap dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang relatif permanen yang terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognisi, komponen perasaan, dan komponen kecenderungan tindakan [action tendency component], yang berpusat pada satu obyek (Krech et al, 1982:147). Sikap cenderung mempersempit, melestarikan, dan menstabilkan dunia individu. Tetapi manusia tidak dapat hidup secara autistik di dalam dunia yang diciptakannya sendiri. Dunia "di luar" dirinya senantiasa bergerak, dan semua manusia, pada tingkat yang bervariasi, responsif terhadap perubahan yang terjadi di dalam dunia sekitarnya. Pada saat mereka berusaha menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah itu, mereka mengubah sikapnya, baik secara mudah ataupun sulit, dengan sukarela ataupun dengan enggan (1982:215).
    Terdapat dua jenis utama perubahan sikap: kongruen dan inkongruen. Perubahan kongruen adalah peningkatan dalam positivitas dari sikap aslinya yang positif atau peningkatan dalam negativitas dari sikap aslinya yang negatif. Perubahan inkongruen adalah berkurangnya positivitas dari sikap aslinya yang positif atau berkurangnya negativitas dari sikap aslinya yang negatif. Pengurangan itu mungkin cukup besar untuk mengubah sama sekali tanda-tanda sikap aslinya, atau mungkin juga tidak cukup besar untuk itu. (1982:216).
    Makalah ini akan membahas bagaimana dalil-dalil tentang perubahan sikap menurut Krech et al (1982 - Guides 19-23) dapat diaplikasikan ke dalam upaya pengubahan sikap masyarakat terhadap tunanetra melalui kampanye kesadaran masyarakat mengenai ketunanetraan agar terjadi perubahan sikap masyarakat secara positif terhadap ketunanetraan.

    II. Mudah/sulitnya perubahan sikap tergantung pada karakteristik sistem sikap dan kepribadian serta afiliasi individu dengan berbagai kelompok
    (Guide 19)

    Sikap, bila telah terbentuk, bervariasi dalam modifiabilitasnya (kemudahannya untuk diubah). Faktor-faktor penentu utama dari modifiabilitas sikap adalah: (1) karakteristik sikap yang sudah ada sebelumnya, (2) kepribadian individu, dan (3) afiliasi individu dengan berbagai kelompok.

    2.1. Karakteristik dan Modifiabilitas Sikap
    Karakteristik sikap yang paling penting dalam menentukan modifiabilitas sikap adalah:
    (1) keekstrimannya, (2) multipleksitasnya, (3) konsistensinya, (4) saling keterkaitannya (interconnectedness), (5) konsonansinya [consonance], (6) kekuatan dan jumlah keinginan yang dilayani oleh sikap itu, dan (7) sentralitas nilai yang terkait dengan sikap itu.

    2.1.1. Keekstriman
    Satu prinsip yang diterima umum adalah bahwa sikap yang lebih ekstrim lebih sulit untuk diubah daripada sikap yang kurang ekstrim. Sikap yang ekstrim dipegang dengan tingkat intensitas atau kepercayaan diri yang lebih besar daripada sikap yang kurang ekstrim, dan oleh karenanya akan lebih resisten terhadap perubahan. Untuk memperlemah satu sikap ekstrim (perubahan inkongruen) akan jauh lebih sulit daripada memperkuat sikap yang ekstrim (perubahan kongruen) - dengan asumsi bahwa masih ada ruang untuk penguatan itu. Jadi, seseorang yang diketahui memiliki sikap yang sangat negatif terhadap ketunanetraan akan lebih sulit untuk diubah agar sikapnya itu lebih positif. Sebaliknya, seseorang yang diketahui memiliki sikap yang sangat positif terhadap ketunanetraan akan lebih mudah untuk berubah ke arah yang lebih positif lagi.



    2.1.2. Multipleksitas
    Modifiabilitas sebuah sikap bervariasi sesuai dengan tingkat multipleksitasnya. Sikap yang simpleks akan relatif lebih mudah mengalami perubahan yang inkongruen daripada sikap yang sangat multipleks. Seorang majikan yang tidak bersedia mempekerjakan orang tunanetra karena dia berkeyakinan bahwa orang tunanetra tidak dapat mengoperasikan komputer, sikapnya itu mungkin akan berubah bila dia dikonfrontasikan pada bukti bahwa keyakinannya tersebut salah. Akan tetapi, jika sikap tak mau mempekerjakan tunanetra itu mencakup banyak "fakta" lainnya juga (misalnya tunanetra tidak mungkin dapat berjalan sendiri, tidak dapat berpakaian rapi, tidak dapat bergaul), dia mungkin akan menerima bukti bahwa tunanetra dapat mengoperasikan komputer tetapi tetap berpegang pada sikapnya untuk tidak mempekerjakan tunanetra. Sistem sikap yang multipleks ini menuntut upaya yang lebih intensif untuk mengubahnya.
    2.1.3. Konsistensi
    Terdapat kecenderungan yang cukup kuat ke arah konsistensi di antara komponen-komponen sebuah sistem sikap. (Komponen sistem sikap terdiri dari komponen kognisi, komponen perasaan, dan komponen kecenderungan bertindak). Sistem sikap yang konsisten cenderung stabil; komponen-komponennya saling mendukung. Sebaliknya, sistem sikap yang inkonsisten relatif tidak stabil karena terdapat dissonansi di antara komponen-komponennya, dan oleh karenanya dapat lebih mudah berubah ke arah konsistensi yang lebih tinggi, terutama untuk perubahan yang kongruen.
    2.1.4. Saling Keterkaitan (Interconnectedness)
    Tingkat dan hakikat saling keterkaitan antara satu sikap dengan sikap-sikap lainnya merupakan hal yang penting dalam menentukan seberapa mudah suatu sikap dapat diubah. Sikap yang terkait dengan sikap-sikap lain yang memiliki bobot afektif yang tinggi akan relatif resisten terhadap perubahan yang inkongruen karena emosionalitas dalam keseluruhan rumpun sikap itu akan termobilisasi untuk menentang perubahan tersebut. Misalnya, sikap purbasangka (prejudice) seseorang terhadap tunanetra akan sulit untuk berubah menjadi sikap percaya apabila sikap itu terkait dengan pengalaman pahitnya dengan seorang individu tunanetra yang pernah mengecewakannya. Tetapi sebaliknya, perubahan yang kongruen akan lebih mudah terjadi pada sikap seseorang yang mempunyai seorang kerabat tunanetra yang disayanginya. Kepada orang seperti ini akan mudah untuk menanamkan sikap mengenai pentingnya memajukan pendidikan bagi tunanetra, misalnya.
    2.1.5. Konsonansi (Consonance)
    Modifiabilitas sikap yang merupakan bagian dari suatu rumpun sikap akan bervariasi berdasarkan tingkat konsonansinya dengan sikap-sikap lain di dalam rumpun yang bersangkutan. Sikap-sikap yang konsonan (sejalan) cenderung lebih imun terhadap kekuatan-kekuatan yang dapat mengakibatkan perubahan yang inkongruen dibandingkan dengan sikap-sikap yang dissonan. Misalnya, seorang pejabat lembaga pendidikan keguruan tidak setuju tunanetra menjadi guru dan juga tidak merestui tunanetra masuk lembaga pendidikan keguruan. Seorang aktivis organisasi ketunanetraan akan mengalami kesulitan mengubah sikap pejabat tersebut agar rekannya yang tunanetra dapat diterima di lembaga pendidikan keguruan itu, karena sikap penolakan pejabat tersebut konsonan dengan sikapnya yang lain yang berkaitan dengan profesi guru bagi tunanetra. Akan tetapi, jika pejabat tersebut tidak menghendaki keberadaan mahasiswa tunanetra di lembaganya tetapi tidak menentang tunanetra berprofesi guru, maka tidak akan terlalu sulit untuk mengubah sikapnya agar dia membuka kesempatan bagi tunanetra untuk menempuh studi di lembaga tersebut.
    Di pihak lain, sikap-sikap yang konsonan dengan sikap-sikap lain dalam sebuah rumpun sikap akan relatif lebih mudah untuk berubah ke arah yang kongruen daripada sikap-sikap yang mempunyai hubungan dissonan. Maka, sikap menerima tunanetra sebagai mahasiswa pendidikan keguruan yang konsonan dengan sikap menerima tunanetra ke dalam profesi guru akan responsif secara positif terhadap himbauan untuk memberi lebih banyak kesempatan kepada tunanetra untuk menjadi guru.

    2.1.6. Kekuatan Dan Jumlah Keinginan Yang Mendasari Sikap
    Sikap, bila sudah terbentuk, mungkin tidak hanya melayani keinginan asal yang terlibat dalam pembentukannya, tetapi mungkin akan melayani keinginan-keinginan lain juga. Resistensi sikap terhadap perubahan sebagian tergantung pada kekuatan dan jumlah keinginan yang mendasari sikap tersebut. Suatu sikap yang didasari oleh keinginan yang kuat dan multipleks ("multiservice" attitude) merupakan sikap yang sangat penting dalam kehidupan individu, dan akan dipertahankannya dengan kuat. Oleh karenanya, sikap tersebut akan relatif imun terhadap perubahan yang inkongruen, tetapi akan lebih mudah berubah secara kongruen. Misalnya, seorang aktivis organisasi ketunanetraan yang memiliki berbagai tujuan yang diperjuangkannya untuk meningkatkan taraf kehidupan para tunanetra, akan sulit untuk dipengaruhi agar mengubah sikapnya supaya tidak terlalu aktif, tetapi akan lebih mudah dipengaruhi untuk meningkatkan perjuangannya. Alasannya sederhana, yaitu bahwa dengan lebih aktif dia akan memperoleh lebih banyak kepuasan.
    2.1.7. Sentralitas Nilai
    Banyak di antara sikap-sikap seorang individu mencerminkan nilai-nilai yang dianutnya - konsepsinya tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik. Suatu sikap yang berakar pada satu nilai yang sentral bagi individu tertentu, dan memperoleh dukungan kuat dari lingkungan budayanya, akan sulit untuk diubah secara inkongruen tetapi akan mudah diubah secara kongruen. Misalnya, individu yang memegang keyakinan bahwa membantu orang cacat itu merupakan satu kebajikan yang bernilai ibadah tinggi, akan mudah untuk diajak meningkatkan ibadahnya dengan berbuat sesuatu untuk membantu tunanetra (perubahan kongruen).

    2.2. Kepribadian dan Modifiabilitas Sikap
    Modifiabilitas sikap juga ditentukan oleh atribut-atribut tertentu dari kepribadian individu. Atribut terpenting dari kepribadian itu adalah: (1) inteligensi, (2)persuasibilitas umum, (3)self-defensiveness (pertahanan diri), dan (4) kebutuhan dan gaya kognitif.


    2.2.1. Inteligensi
    Perbedaan-perbedaan individual dalam inteligensi turut menentukan perbedaan dalam tingkat perubahan sikap. Misalnya, ketika Undang-undang Penyandang Cacat diundangkan pada tahun 1997, ada individu yang cepat bereaksi dengan menentukan sikapnya terhadap isi undang-undang tersebut, tetapi ada pula yang tidak menentukan sikapnya. Perbedaan dalam waktu yang dibutuhkan untuk menentukan sikap itu dapat disebabkan oleh adanya perbedaan dalam inteligensi. Individu dengan tingkat inteligensi yang lebih tinggi cenderung dapat menentukan sikap secara lebih cepat karena dia dapat memahami dan mengevaluasi persoalan dengan lebih baik. Di pihak lain, individu dengan tingkat inteligensi yang lebih rendah, bila sudah terjangkau oleh juru kampanye, mungkin kurang mampu mengevaluasi bahan yang dipropagandakan itu secara kritis sehingga dapat lebih mudah terpengaruh oleh propaganda tersebut. Dan terdapat bukti eksperimental bahwa individu yang tingkat inteligensinya lebih rendah dapat lebih mudah terpengaruh oleh tekanan sikap kelompoknya.

    2.2.2. Persuasibilitas Umum
    Persuasibilitas umum (general per­suasibility atau unbound persuasibility) adalah kesiapan untuk menerima pengaruh sosial tanpa memandang komunikatornya dan topik, isi, media, ataupun situasi komunikasinya. Kebalikannya, terdapat pula berbagai faktor persuasibilitas "terikat" (bound persuasibility), yaitu kecenderungan untuk mudah terpengaruh oleh jenis komunikasi tertentu saja - oleh topik tertentu, bentuk argumen tertentu, gaya komunikasi tertentu, media komunikasi tertentu. Di samping itu, menurut Krech et al., banyak peneliti telah mengamati adanya perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita dalam persuasibilitasnya. Wanita lebih mudah dipengaruhi sikapnya daripada pria. Hal-hal tersebut perlu mendapat perhatian yang seksama dari juru kampanye bila dia ingin berhasil mengubah sikap khalayak sasarannya.

    2.2.3. Self-defensiveness (Pertahanan Diri)
    Krech et al. mengemukakan bahwa terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang yang sangat self-defensive berpegang kuat pada sikap yang menopang harga dirinya. Sesuai dengan itu, penulis dapat mengemukakan contoh bahwa seorang kepala SLB yang merasa terancam kedudukannya oleh bawahannya yang tunanetra mungkin akan selalu berusaha mempertahankan sikapnya bahwa orang tunanetra tidak layak menduduki jabatan kepala sekolah.

    2.2.4. Kebutuhan dan Gaya Kognitif
    Kelman dan Cohler (1959) mengemukakan bahwa orang yang tinggi dalam kebutuhan akan kejelasan kognitifnya akan bereaksi kuat terhadap informasi yang menantang sikapnya. Misalnya, seorang majikan yang memegang sikap bahwa tidak mungkin bagi tunanetra untuk dipekerjakan sebagai programer komputer tidak akan buru-buru mempercayai informasi bahwa teknologi baru telah membuktikan bahwa tunanetra dapat menjadi seorang programer yang kompeten. Namun yang lebih buruk adalah orang yang bereaksi terhadap ambiguitas suatu informasi secara defensif, dengan menolak masuknya elemen-elemen informasi yang dapat mengganggu kognisinya dan menutup dirinya dari informasi yang menantang tersebut, dan karenanya resisten terhadap perubahan yang inkongruen.

    2.3. Afiliasi Kelompok dan Modifiabilitas Sikap
    Sikap yang mempunyai dukungan sosial yang kuat melalui afiliasi individu dengan kelompok sulit berubah. Jika seorang individu menghargai keanggotaannya dalam kelompoknya, dia akan cenderung berpegang pada sikap yang dianut oleh kelompoknya itu demi mempertahankan statusnya. Jadi, jika seorang pengusaha adalah anggota dari sebuah kelompok badan usaha yang menganut norma bahwa para pegawai dalam kelompok tersebut dipersyaratkan untuk memiliki kondisi fisik yang "sempurna", maka pengusaha tersebut sulit untuk mengubah sikapnya guna mempekerjakan seorang tunanetra jika dia ingin mempertahankan statusnya sebagai anggota kelompok badan usaha itu.

    III. Perubahan sikap terjadi melalui pendedahan (exposure) terhadap informasi baru, perubahan dalam afiliasi individu dengan kelompok-kelompok, pemaksaan modifikasi perilaku individu terhadap obyek-obyek, dan melalui teknik-teknik pengubahan kepribadian
    (Guide 20)

    Pembentukan dan perubahan sikap bukan merupakan tahapan yang terpisah-pisah dalam perkembangan sikap. Kedua hal tersebut merupakan fase-fase yang sinambung dalam pertumbuhannya. Oleh karenanya, prinsip-prinsip pembentukan sikap dan prinsip-prinsip perubahan sikap harus konsisten antara satu dengan lainnya. Pembentukan sikap tertentu dari individu ditentukan oleh informasi yang tersedia baginya, afiliasinya
    dengan berbagai kelompok, dan oleh struktur kepribadiannya. Maka perubahan sikap ini pun ditentukan oleh faktor-faktor tersebut.
    Sikap dipergunakan oleh individu untuk membangun dunianya yang bermakna, teratur, dan stabil. Oleh karenanya, kita juga dapat berekspektasi bahwa karena informasi baru cenderung mengubah, memperluas, atau mempersempit dunia individu, informasi tersebut akan cenderung terasimilasi ke dalam sikap yang ada. Bila hal itu terjadi, maka sikapnya pun akan mengalami perubahan. Dan jika kita menginginkan agar perubahan sikap tersebut bersifat positif terhadap ketunanetraan, maka seyogyanya individu itu dibanjiri oleh informasi yang positif mengenai ketunanetraan.
    Sikap individu, yang terbentuk pada saat dia berinteraksi dengan individu-individu lain di dalam kelompok-kelompoknya, mencerminkan keyakinan, norma, dan nilai yang dianut oleh kelompok-kelompoknya itu. Bila dia pindah ke kelompok baru dengan sistem keyakinan yang berbeda, norma yang berbeda, dan nilai yang berbeda, sikapnya akan cenderung menunjukkan perubahan yang akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan tersebut.
    Kadang-kadang memungkinkan untuk mendesak orang untuk mengubah sikapnya dengan memaksanya mengubah perilakunya terhadap obyek tertentu. Banyak faktor yang mempengaruhi proses perubahan seperti ini. Pertama, individu yang "dicekoki" dengan informasi baru kemungkinan akan mengoreksi distorsi autistiknya. Kedua, perubahan yang dipaksakan pada komponen kecenderungan tindakannya (action tendency component) dapat mengakibatkan perubahan dalam komponen-komponen terkait lainnya pada sistem sikapnya atas dasar prinsip konsistensi. Sejauh mana perubahan yang dipaksakan pada perilaku itu akan menghasilkan perubahan sikap akan sangat dipengaruhi oleh keadaan pemaksaannya dan oleh kepribadian individu yang bersangkutan.
    Kepribadian memainkan peranan yang sangat penting. Sikap menentukan kepribadian, dan, sebaliknya, kepribadian individu pun mempengaruhi sikapnya. Saling keterkaitan fungsional antara sikap dan kepribadian itu kompleks dan mendalam. Pengubahan sikap dengan mengubah kepribadian merupakan satu pendekatan yang relatif baru dalam masalah pengubahan sikap.
    Pembahasan yang lebih rinci mengenai dalil di atas serta aplikasinya dalam upaya kampanye kesadaran masyarakat mengenai ketunanetraan akan dipaparkan dalam dalil-dalil berikutnya.

    IV. Arah dan tingkat perubahan sikap yang diakibatkan oleh informasi baru tergantung pada faktor-faktor situasi dan tergantung pada sumber, media, bentuk, dan isi informasi tersebut (Guide 21)

    Di dalam paparan ini, istilah "informasi" didefinisikan secara luas, yang mencakup jenis informasi formal yang diberikan oleh lembaga pendidikan dan lembaga propaganda maupun jenis informasi informal yang diperoleh orang dalam bercakap-cakap dengan orang lain tentang suatu obyek sikap ataupun dalam pengalaman langsung orang itu dengan obyek tersebut.
    Apakah informasi baru akan mengubah sikap atau tidak, tergantung pada hakikat situasi komunikasi, karakteristik komunikator, media komunikasi, dan bentuk serta isi pesan.

    4.1. Situasi Komunikasi
    Tiga karakteristik situasi komunikasi yang mempengaruhi keefektifan juru kampanye adalah: mendengar sendirian versus mendengar berkelompok, komitmen publik versus komitmen pribadi terhadap posisi yang diadvokasikan, dan metode keputusan kelompok versus metode ceramah.

    4.1.1. Mendengarkan Berkelompok
    Mendengarkan secara berkelompok lebih efektif daripada mendengarkan sendirian jika mayoritas kelompok bersikap positif terhadap posisi komunikator, tetapi akan kurang efektif jika komunikator menentang mayoritas. Jadi, jika kita ingin berhasil dalam mengkampanyekan hal-hal yang positif mengenai ketunanetraan kepada sekelompok massa, maka seyogyanya ke dalam kelompok itu kita hadirkan orang-orang "dalam" kita dengan proporsi jumlah yang cukup dominan agar dapat mempengaruhi massa yang menjadi sasaran kampanye tersebut.



    4.1.2. Komitmen Publik
    Cara yang sudah lama dipergunakan oleh para propagandis untuk membuat agar orang mengubah sikapnya adalah dengan menuntutnya membuat komitmen di hadapan publik. Teknik ini berasumsi bahwa jika seseorang sudah menyatakan sikapnya secara publik, akan lebih kecil kemungkinannya bahwa dia mengubah posisinya sebagai akibat dari propaganda tandingan. Merupakan praktek yang sudah umum bahwa jika diundang untuk berbicara dalam upacara-upacara resmi seperti upacara pembukaan seminar atau konferensi, para pejabat publik cenderung menyampaikan komitmen yang mendukung harapan publik yang menghadiri upacara tersebut. Artinya, dalam upacara pembukaan suatu seminar mengenai ketunanetraan, misalnya, pejabat publik itu akan cenderung membuat komitmen untuk melakukan hal-hal yang positif bagi para tunanetra. Oleh karena itu, kegiatan seminar, saresehan, konferensi atau semacamnya, merupakan bentuk kampanye yang efektif.

    4.1.3. Metode Keputusan Kelompok
    Metode keputusan kelompok telah didapati lebih efektif dalam mengubah sikap dan tindakan daripada metode ceramah. Bila suatu peristiwa kampanye ditujukan untuk mengubah sikap dan tindakan guru-guru SD agar bersedia menerima siswa tunanetra sebagai bagian dari kelas inklusif di sekolahnya, tingkat ketercapaian tujuan tersebut akan cenderung lebih tinggi melalui metode keputusan kelompok. Dalam metode ini, setelah guru-guru tersebut menerima informasi dan berdiskusi mengenai sistem pendidikan inklusif, pada akhir diskusi itu mereka diarahkan untuk merumuskan sikap bersama (yang positif) terhadap sistem pendidikan inklusif.

    4.2. Karakteristik Komunikator
    Dalam menentukan efek suatu pesan, siapa yang mengatakan apa sering kali sama pentingnya dengan isi pesan itu sendiri. Agar efektif, juru kampanye harus dipandang sebagai anggota kelompok yang ingin dipengaruhinya - dia harus dipandang sebagai "orang dalam"; dia juga harus dipandang sebagai terpercaya dan menarik bagi kelompok obyek kampanye. Oleh karena itu, hal-hal tersebut harus menjadi bahan pertimbangan bagi lembaga swadaya masyarakat ketunanetraan dalam menentukan juru kampanyenya - sekurang-kurangnya juru kampanye tersebut harus didampingi oleh "orang dalam" kelompok obyek.

    4.3. Media Komunikasi
    Keefektifan suatu propaganda tidak hanya dipengaruhi oleh siapa propagandisnya, tetapi juga oleh medianya (radio, televisi, surart kabar, majalah, pesan dari mulut ke mulut, dll.) yang dipergunakan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pesan dari mulut ke mulut lebih ampuh daripada pesan melalui media massa; tetapi media massa memainkan peranan penting dalam proses pengaruh sosial dan perubahan sosial dengan mempengaruhi para pimpinan opini yang akan meneruskan pesan itu dari mulut ke mulut di masyarakat. Oleh karena itu, penyajian informasi tentang ketunanetraan di media massa tetap sangat penting; dan pesan informasi tersebut akan lebih efektif apabila ditindaklanjuti dengan menggunakannya sebagai bahan "obrolan".

    4.4. Isi dan Bentuk Pesan
    Isi dan bentuk pesan merupakan faktor yang penting untuk menentukan keberhasilan propaganda atau kampanye. Berbagai variabel isi dan bentuk pesan telah diperhadapkan pada studi eksperimental; di antaranya adalah besarnya perubahan yang diadvokasikan, penyajian satu sisi versus penyajian dua sisi, penarikan kesimpulan oleh komunikator versus komunikator tak menarik kesimpulan, dan urutan penyajian.

    4.4.1. Besarnya Perubahan Yang Diadvokasikan
    Manakah yang lebih efektif, propaganda yang dinyatakan secara ekstrim atau yang dinyatakan secara moderat? Studi oleh Hovland dan Pritzker (1957) menunjukkan bahwa semakin besar perubahan yang diadvokasikan, semakin besar perubahan yang dihasilkan: perubahan mean sebesar 0,88 unit skala bila perubahan kecil diadvokasikan; 1.25 bila perubahan moderat diadvokasikan; 1,75 bila perubahan besar diadvokasikan. Korelasi tersebut hampir sama bagi individu yang memegang opini ekstrim maupun yang kurang ekstrim. Ini berarti bahwa jika kita menginginkan terjadinya perubahan besar ke arah sikap bahwa tunanetra mempunyai hak yang sama untuk menjadi pegawai negeri, juru kampanye harus mempromosikannya dengan intensitas yang tinggi.

    4.4.2. Penyajian Satu Sisi Versus Penyajian Dua Sisi
    Apakah propagandis seyogyanya hanya menyajikan argumen yang mendukung posisinya saja (satu sisi), atau apakah seyogyanya dia juga menyajikan argumen tandingannya (dua sisi)? Hasil studi menunjukkan bahwa penyajian dua sisi lebih efektif dalam mempengaruhi perubahan inkongruen; dan penyajian satu sisi lebih efektif dalam menghasilkan perubahan kongruen.
    Hasil studi lainnya menunjukkan bahwa individu yang kurang terpelajar lebih terpengaruh oleh argumen satu sisi, sedangkan individu yang terpelajar lebih dapat menerima argumen dua sisi. Sebagaimana halnya setiap individu lain, individu tunanetra pun memiliki kelemahan di samping kekuatan. Dalam mengkampanyekan ketunanetraan kepada pemerhati yang kurang terpelajar, sebaiknya kelemahan tunanetra tidak disajikan - meskipun tidak boleh ditutup-tutupi, sedangkan bagi pemerhati yang terpelajar, aspek-aspek positif maupun negatif tentang ketunanetraan seyogyanya disajikan untuk dicernak.

    4.4.3. Urutan Penyajian
    Apakah propagandis sebaiknya menyajikan argumen yang positif sebelum argumen yang negatif? Studi oleh McCuire (1957) menunjukkan bahwa bila aspek-aspek yang baik disajikan terlebih dahulu dan aspek-aspek yang negatif kemudian, maka sikap positif akan lebih besar kemungkinannya untuk terbentuk dibandingkan dengan apabila urutan penyajiannya dibalik.

    4.4.4. Penarikan Kesimpulan oleh Komunikator Versus oleh Pemerhati
    Fakta tidak berbicara untuk dirinya sendiri. Fakta yang sama dapat memberikan makna yang berbeda bagi orang yang berbeda. Oleh karena itu, dalam menyajikan fakta-fakta yang ambigu atau kontradiktif, seyogyanya propagandis lebih efektif dalam menanamkan pemahaman dan memperoleh penerimaan pemerhati terhadap interpretasi yang dimaksudkannya mengenai fakta-fakta tersebut dengan menggiring pemerhati ke arah kesimpulan yang merupakan tujuan dari kampanye itu.

    V. Keefektifan afiliasi dengan kelompok baru dalam mempengaruhi perubahan sikap tergantung pada karakteristik kelompok itu dan ditentukan oleh hakikat keanggotaan individu di dalam kelompok tersebut
    (Guide 22)

    Bila seorang individu mengafiliasikan dirinya dengan satu kelompok baru, dia cenderung mengadopsi sikap yang gditentukan oleh nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh kelompok itu. Organisasi-organisasi ketunanetraan pada umumnya menganut sistem keanggotaan yang mengundang orang awas untuk menjadi bagian dari keanggotaannya. Terdapat peraturan-peraturan organisasi yang menentukan hak dan kewajiban anggota awas dalam organisasi ketunanetraan itu agar anggota yang tunanetra tetap dominan dalam pembuatan kebijakan organisasi. Sebagaimana dapat diduga, anggota-anggota awas dalam organisasi ketunanetraan itu pada umumnya memiliki sikap yang positif mengenai ketunanetraan. Hal ini menunjukkan bahwa membuka keanggotaan organisasi ketunanetraan bagi orang awas merupakan cara yang sangat efektif untuk mengembangkan sikap positif masyarakat terhadap ketunanetraan.
    Keefektifan sebuah kelompok dalam menuntun seorang anggota baru untuk mengadopsi "garis kebijakan kelompok", sebagian ditentukan oleh karakteristik kelompok yang mencakup:
    (1) sentralitas norma kelompok yang berkaitan dengan sikap,
    (2) tingkat kebebasan anggota baru itu untuk meninggalkan kelompok tersebut, dan
    (3) keefektifan kekuatan pengawasan dari kelompok itu.
    Di samping itu, tingkat penerimaan anggota baru terhadap sikap yang diharapkan oleh norma-norma kelompok itu sebagian ditentukan oleh karakteristik keanggotaan tersebut. Tiga karakteristik utama keanggotaan yang turut menentukan keefektifan kelompok dalam membentuk sikap anggotanya adalah:
    (1) status anggota baru,
    (2) tingkat penghargaan anggota baru itu terhadap keanggotaannya dalam kelompok itu, dan
    (3) persepsi anggota mengenai keabsahan norma-norma kelompok .

    Jika seorang anggota baru merasa tidak aman dalam statusnya, dia akan cenderung mengambil sikap yang disetujui kelompoknya demi memperoleh penerimaan kelompok dan meningkatkan statusnya tersebut. Tingkat penghargaan individu terhadap keanggotaannya dalam kelompok itu juga akan menentukan otoritas kelompok terhadap dirinya. Dan hanya jika anggota baru itu menerima norma kelompok yang menentukan sikap-sikap tertentu sebagai norma yang absah, maka norma itu akan efektif mengatur perilaku anggota tersebut.

    V. Keefektifan perubahan yang dipaksakan terhadap perilaku dalam upaya mengubah sikap tergantung pada keadaan pemaksaan itu dan reaksi individu terhadapnya (Guide 23)

    Berbagai studi tentang pengaruh perubahan yang dipaksakan dalam perilaku terhadap suatu obyek sikap menunjukkan bahwa perubahan sikap yang besar dapat terjadi. Dalam bagian ini kita akan menelaah pengaruh dua jenis perubahan perilaku yang dipaksakan terhadap sikap:
    (1) Kontak intim dengan anggota kelompok minoritas, yang dipaksakan terhadap individu oleh peraturan perundang-undangan atau oleh keadaan;
    (2) Tuntutan dimainkannya suatu peran (role playing) di mana sikap yang bertentangan dengan sikap individu yang sesungguhnya harus dinyatakan secara publik.

    5.1. Kontak Yang Dipaksakan dan Sikap terhadap Minoritas
    Kontak yang dipaksakan dengan obyek sikap dapat memperkuat ataupun memperlemah sikap yang ada, dapat menghasilkan perubahan kongruen ataupun perubahan inkongruen. Familiaritas dapat menghasilkan rasa sayang ataupun benci.
    Keefektifan perubahan perilaku yang dipaksakan tergantung pada beberapa faktor. Pertama, kontak yang dipaksakan dengan kaum minoritas cenderung mengoreksi distorsi autistik. Bila siswa-siswa tunanetra belajar bersama-sama dengan siswa-siswa awas di sekolah reguler dalam sistem pendidikan terpadu (sebagai implementasi dari Keputusan Mendikbud RI No. 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat), siswa-siswa awas itu akan mempunyai kesempatan untuk lebih mengenal tunanetra. Hal ini dapat mengoreksi sikap purbasangka (prejudice) terhadap tunanetra yang mungkin terdapat dalam diri siswa-siswa itu.
    Kedua, bila terdapat kebutuhan untuk menggabungkan diri dengan obyek yang "negatif", terdapat pula kecenderungan untuk mencari aspek-aspek positif tentang obyek tersebut. Misalnya, bila seorang individu awas (yang mempunyai sikap negatif terhadap ketunanetraan), karena keadaan tertentu, terpaksa berada dalam satu bis dengan sekelompok tunanetra, dia akan cenderung mencari aspek-aspek positif tentang ketunanetraan agar dia dapat merasa nyaman berada di dalam komunitas bis itu. Dengan demikian, terjadi perubahan inkongruen dalam sikapnya.
    Deutsch dan Collins (1951) telah membandingkan hubungan orang Negro dan orang kulit putih dalam dua jenis proyek perumahan - proyek integrasi di mana keluarga-keluarga ditempatkan di apartemen-apartemen tanpa memandang rasnya, dan proyek segregasi di mana keluarga Negro dan keluarga kulit putih ditempatkan di bangunan atau daerah yang berbeda. Data mereka menunjukkan bahwa pengalaman tinggal di proyek perumahan integrasi menghasilkan perubahan sikap ke arah yang positif dalam ketiga komponen sikap - dalam keyakinan tentang orang Negro, dalam perasaan tentang orang Negro, dan dalam kecenderungan tindakan terhadap orang Negro. Perubahan tersebut tidak hanya terhadap orang Negro yang tinggal di proyek itu, tetapi juga terhadap orang Negro pada umumnya - meskipun tingkat perubahannya lebih kecil.

    5.2. Pengaruh Tuntutan Role Playing
    Orang sering dihadapkan pada situasi di mana norma sosial menuntut mereka untuk berperilaku terhadap anggota kelompok minoritas atau terhadap obyek sikap lainnya dengan cara yang berlawanan dengan sikap pribadi mereka. Misalnya, orang yang dalam kehidupan pribadinya memandang rendah orang cacat, jika dia dipertemukan dengan seorang tamu cacat di rumah bosnya, dia akan cenderung berperilaku sopan terhadap tamu tunanetra itu demi menghargai tuan rumah. Hal yang serupa akan ditunjukkan oleh pelayan toko dalam setting hubungan penjual-pembeli demi tuntutan business-nya, dan oleh seorang guru dalam setting sekolah karena tuntutan etika profesionalnya. Apakah sikap pribadi orang-orang ini akan terpengaruh oleh sikap yang mereka tunjukkan secara publik dalam role playing itu? Dalam sebuah studi laboraturium tentang pengaruh role playing pada sikap terhadap orang Negro, Cul­bertson (1957) menunjukkan bahwa para pemain peran menjadi lebih positif sikapnya terhadap orang Negro daripada pengamat permainan peran itu, dan para pengamat itu cenderung berubah ke arah sikap yang lebih positif dibandingkan dengan subyek dari kelompok kontrol yang tidak menyaksikan permainan peran tersebut. Pengaruh positif pengalaman role playing itu juga meluas ke sikap umum dari subyek penelitian terhadap orang Negro.
    Pengaruh role playing di mana orang secara publik mengekspresikan sikap yang berlawanan dengan sikap pribadinya itu tampaknya dapat membawa individu untuk mengadopsi sikap yang ditunjukkannya di depan publik. Jika pemain peran itu mendapat ganjaran persetujuan dari lingkungan sosialnya, dia akan lebih mudah berubah ke arah sikap yang dimainkannya dalam role playing itu; tetapi jika dia tidak memperoleh ganjaran persetujuan, maka sikapnya itu tidak akan begitu mudah berubah. Dengan kata lain, role playing cenderung menghasilkan perubahan sikap bila terdapat dukungan sosial bagi perubahan itu.
    Teori dissonansi kognisi yang dikembangkan oleh Festinger (1957) mengatakan bahwa perubahan sikap yang dihasilkan oleh perubahan tindakan yang dipaksakan itu timbul karena dirasakannya keadaan dissonansi yang tidak nyaman, yang muncul bila seorang individu secara publik mengatakan atau melakukan sesuatu yang berlawanan dengan sikap pribadinya. Satu cara untuk mengurangi keadaan dissonan tersebut adalah dengan mengubah sikap pribadinya itu agar sesuai dengan sikap yang diekspresikannya secara publik.
    VI. Kesimpulan dan Rekomendasi

    Banyak faktor yang menentukan perubahan sikap ataupun persistensi (bertahannya) sikap. Manusia hidup dalam dunia di mana semua faktor yang mempengaruhi perubahan sikap atau persistensi sikap sama-sama aktif, bekerja bersama-sama atau bersilang arah. Hasil akhirnya, yaitu perubahan sikap ataupun persistensi sikap, merupakan produk interaksi yang kompleks antara berbagai faktor penentu. Demi kejelasan pembahasannya, Kretch et al telah memperlakukan faktor-faktor penentu tersebut sebagai terpisah antara satu dengan lainnya. Tetapi sesungguhnya terdapat interaksi di antara faktor-faktor tersebut. Individu-individu terekspos pada informasi baru yang dapat mendukung ataupun bertentangan dengan sikapnya; mereka mungkin mempunyai keinginan atau tujuan yang bervariasi atau bertentangan; kelompok-kelompok di mana mereka berafiliasi mungkin menuntut loyalitas yang antagonistik. Perubahan atau persistensi sikap mereka merupakan hasil akhir dari interaksi yang kompleks antara bermacam-macam kekuatan ini, yang sering saling bertentangan.
    Satu hal yang positif dari inkonsistensi sikap tersebut adalah bahwa kita akan dapat menemukan celah-celah untuk memanipulasi situasi dan teknik guna mencoba mempengaruhi perubahan sikap individu itu ke arah yang kita inginkan. Berikut ini adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan demi keberhasilan kampanye kesadaran masyarakat mengenai ketunanetraan:
    1. Mengekspos sebanyak mungkin informasi yang positif tentang ketunanetraan dalam bentuk, isi, dan media komunikasi yang disesuaikan dengan segmen masyarakat yang menjadi target kampanye.
    2. Berupaya mengafiliasikan sebanyak mungkin individu dengan kelompok advokasi ketunanetraan atau mengafiliasikan para pendukung advokasi ketunanetraan ke dalam kelompok-kelompok masyarakat target.
    3. Mengadvokasikan peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, untuk memaksakan perubahan sikap.
    4. Menciptakan berbagai situasi (seperti seminar, konferensi, pertemuan sosial) yang dapat membuat orang menyatakan sikap yang positif terhadap tunanetra.
    5. Mendorong para individu tunanetra itu sendiri untuk menunjukkan fakta yang dapat menghapus sikap steriotipik dan purbasangka masyarakat mengenai ketunanetraan.

    Referensi Utama:
    Krech, D., Crutchfield, R.S. & Ballachey, E.L. (1982). Individual in Society. Tokyo: McGraw­Hill Kogakusha.

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Daftar Isi