• HOME
  • |

    Buku Tamu -- Guestbook

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Daftar Isi




  • Friday, August 10, 2007

    KampanyeKetunanetraan

    KAMPANYE KESADARAN MASYARAKAT MENGENAI KETUNANETRAAN:
    Upaya Peningkatan Positivitas Sikap Masyarakat terhadap Tunanetra

    Oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    I. Pendahuluan

    Kampanye kesadaran masyarakat mengenai ketunanetraan merupakan salah satu rekomendasi yang hampir selalu muncul dalam berbagai seminar dan konferensi tentang ketunanetraan, dan SELALU TERCANTUM di dalam program kerja organisasi-organisasi ketunanetraan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Kampanye tersebut bertujuan mengubah sikap masyarakat pada umumnya terhadap para penyandang ketunanetraan agar para tunanetra memiliki kesamaan kesempatan untuk berpartisipasi penuh secara aktif, produktif dan kontributif dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat. Sesungguhnya masalah yang lebih besar yang dihadapi para tunanetra itu bukan disebabkan oleh ketunanetraannya itu sendiri, melainkan miskonsepsi masyarakat mengenai ketunanetraan yang berdampak pada terbentuknya sikap yang tidak konstruktif pada fungsi kehidupan sosial para tunanetra. Dengan pendidikan dan latihan yang tepat dan kesempatan yang seluas-luasnya, ketunanetraan tidak lebih dari sekedar kekurangan fisik. "The real problem of blindness is not the lack of eyesight. The real problem is the misunderstanding and lack of information which exist. If a blind person has proper training and opportunity, blindness is only a physical nuisance." (National Federation of the Blind, U.S.A, www.nfb.org).
    Sikap dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang relatif permanen yang terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognisi, komponen perasaan, dan komponen kecenderungan tindakan [action tendency component], yang berpusat pada satu obyek (Krech et al, 1982:147). Sikap cenderung mempersempit, melestarikan, dan menstabilkan dunia individu. Tetapi manusia tidak dapat hidup secara autistik di dalam dunia yang diciptakannya sendiri. Dunia "di luar" dirinya senantiasa bergerak, dan semua manusia, pada tingkat yang bervariasi, responsif terhadap perubahan yang terjadi di dalam dunia sekitarnya. Pada saat mereka berusaha menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah itu, mereka mengubah sikapnya, baik secara mudah ataupun sulit, dengan sukarela ataupun dengan enggan (1982:215).
    Terdapat dua jenis utama perubahan sikap: kongruen dan inkongruen. Perubahan kongruen adalah peningkatan dalam positivitas dari sikap aslinya yang positif atau peningkatan dalam negativitas dari sikap aslinya yang negatif. Perubahan inkongruen adalah berkurangnya positivitas dari sikap aslinya yang positif atau berkurangnya negativitas dari sikap aslinya yang negatif. Pengurangan itu mungkin cukup besar untuk mengubah sama sekali tanda-tanda sikap aslinya, atau mungkin juga tidak cukup besar untuk itu. (1982:216).
    Makalah ini akan membahas bagaimana dalil-dalil tentang perubahan sikap menurut Krech et al (1982 - Guides 19-23) dapat diaplikasikan ke dalam upaya pengubahan sikap masyarakat terhadap tunanetra melalui kampanye kesadaran masyarakat mengenai ketunanetraan agar terjadi perubahan sikap masyarakat secara positif terhadap ketunanetraan.

    II. Mudah/sulitnya perubahan sikap tergantung pada karakteristik sistem sikap dan kepribadian serta afiliasi individu dengan berbagai kelompok
    (Guide 19)

    Sikap, bila telah terbentuk, bervariasi dalam modifiabilitasnya (kemudahannya untuk diubah). Faktor-faktor penentu utama dari modifiabilitas sikap adalah: (1) karakteristik sikap yang sudah ada sebelumnya, (2) kepribadian individu, dan (3) afiliasi individu dengan berbagai kelompok.

    2.1. Karakteristik dan Modifiabilitas Sikap
    Karakteristik sikap yang paling penting dalam menentukan modifiabilitas sikap adalah:
    (1) keekstrimannya, (2) multipleksitasnya, (3) konsistensinya, (4) saling keterkaitannya (interconnectedness), (5) konsonansinya [consonance], (6) kekuatan dan jumlah keinginan yang dilayani oleh sikap itu, dan (7) sentralitas nilai yang terkait dengan sikap itu.

    2.1.1. Keekstriman
    Satu prinsip yang diterima umum adalah bahwa sikap yang lebih ekstrim lebih sulit untuk diubah daripada sikap yang kurang ekstrim. Sikap yang ekstrim dipegang dengan tingkat intensitas atau kepercayaan diri yang lebih besar daripada sikap yang kurang ekstrim, dan oleh karenanya akan lebih resisten terhadap perubahan. Untuk memperlemah satu sikap ekstrim (perubahan inkongruen) akan jauh lebih sulit daripada memperkuat sikap yang ekstrim (perubahan kongruen) - dengan asumsi bahwa masih ada ruang untuk penguatan itu. Jadi, seseorang yang diketahui memiliki sikap yang sangat negatif terhadap ketunanetraan akan lebih sulit untuk diubah agar sikapnya itu lebih positif. Sebaliknya, seseorang yang diketahui memiliki sikap yang sangat positif terhadap ketunanetraan akan lebih mudah untuk berubah ke arah yang lebih positif lagi.



    2.1.2. Multipleksitas
    Modifiabilitas sebuah sikap bervariasi sesuai dengan tingkat multipleksitasnya. Sikap yang simpleks akan relatif lebih mudah mengalami perubahan yang inkongruen daripada sikap yang sangat multipleks. Seorang majikan yang tidak bersedia mempekerjakan orang tunanetra karena dia berkeyakinan bahwa orang tunanetra tidak dapat mengoperasikan komputer, sikapnya itu mungkin akan berubah bila dia dikonfrontasikan pada bukti bahwa keyakinannya tersebut salah. Akan tetapi, jika sikap tak mau mempekerjakan tunanetra itu mencakup banyak "fakta" lainnya juga (misalnya tunanetra tidak mungkin dapat berjalan sendiri, tidak dapat berpakaian rapi, tidak dapat bergaul), dia mungkin akan menerima bukti bahwa tunanetra dapat mengoperasikan komputer tetapi tetap berpegang pada sikapnya untuk tidak mempekerjakan tunanetra. Sistem sikap yang multipleks ini menuntut upaya yang lebih intensif untuk mengubahnya.
    2.1.3. Konsistensi
    Terdapat kecenderungan yang cukup kuat ke arah konsistensi di antara komponen-komponen sebuah sistem sikap. (Komponen sistem sikap terdiri dari komponen kognisi, komponen perasaan, dan komponen kecenderungan bertindak). Sistem sikap yang konsisten cenderung stabil; komponen-komponennya saling mendukung. Sebaliknya, sistem sikap yang inkonsisten relatif tidak stabil karena terdapat dissonansi di antara komponen-komponennya, dan oleh karenanya dapat lebih mudah berubah ke arah konsistensi yang lebih tinggi, terutama untuk perubahan yang kongruen.
    2.1.4. Saling Keterkaitan (Interconnectedness)
    Tingkat dan hakikat saling keterkaitan antara satu sikap dengan sikap-sikap lainnya merupakan hal yang penting dalam menentukan seberapa mudah suatu sikap dapat diubah. Sikap yang terkait dengan sikap-sikap lain yang memiliki bobot afektif yang tinggi akan relatif resisten terhadap perubahan yang inkongruen karena emosionalitas dalam keseluruhan rumpun sikap itu akan termobilisasi untuk menentang perubahan tersebut. Misalnya, sikap purbasangka (prejudice) seseorang terhadap tunanetra akan sulit untuk berubah menjadi sikap percaya apabila sikap itu terkait dengan pengalaman pahitnya dengan seorang individu tunanetra yang pernah mengecewakannya. Tetapi sebaliknya, perubahan yang kongruen akan lebih mudah terjadi pada sikap seseorang yang mempunyai seorang kerabat tunanetra yang disayanginya. Kepada orang seperti ini akan mudah untuk menanamkan sikap mengenai pentingnya memajukan pendidikan bagi tunanetra, misalnya.
    2.1.5. Konsonansi (Consonance)
    Modifiabilitas sikap yang merupakan bagian dari suatu rumpun sikap akan bervariasi berdasarkan tingkat konsonansinya dengan sikap-sikap lain di dalam rumpun yang bersangkutan. Sikap-sikap yang konsonan (sejalan) cenderung lebih imun terhadap kekuatan-kekuatan yang dapat mengakibatkan perubahan yang inkongruen dibandingkan dengan sikap-sikap yang dissonan. Misalnya, seorang pejabat lembaga pendidikan keguruan tidak setuju tunanetra menjadi guru dan juga tidak merestui tunanetra masuk lembaga pendidikan keguruan. Seorang aktivis organisasi ketunanetraan akan mengalami kesulitan mengubah sikap pejabat tersebut agar rekannya yang tunanetra dapat diterima di lembaga pendidikan keguruan itu, karena sikap penolakan pejabat tersebut konsonan dengan sikapnya yang lain yang berkaitan dengan profesi guru bagi tunanetra. Akan tetapi, jika pejabat tersebut tidak menghendaki keberadaan mahasiswa tunanetra di lembaganya tetapi tidak menentang tunanetra berprofesi guru, maka tidak akan terlalu sulit untuk mengubah sikapnya agar dia membuka kesempatan bagi tunanetra untuk menempuh studi di lembaga tersebut.
    Di pihak lain, sikap-sikap yang konsonan dengan sikap-sikap lain dalam sebuah rumpun sikap akan relatif lebih mudah untuk berubah ke arah yang kongruen daripada sikap-sikap yang mempunyai hubungan dissonan. Maka, sikap menerima tunanetra sebagai mahasiswa pendidikan keguruan yang konsonan dengan sikap menerima tunanetra ke dalam profesi guru akan responsif secara positif terhadap himbauan untuk memberi lebih banyak kesempatan kepada tunanetra untuk menjadi guru.

    2.1.6. Kekuatan Dan Jumlah Keinginan Yang Mendasari Sikap
    Sikap, bila sudah terbentuk, mungkin tidak hanya melayani keinginan asal yang terlibat dalam pembentukannya, tetapi mungkin akan melayani keinginan-keinginan lain juga. Resistensi sikap terhadap perubahan sebagian tergantung pada kekuatan dan jumlah keinginan yang mendasari sikap tersebut. Suatu sikap yang didasari oleh keinginan yang kuat dan multipleks ("multiservice" attitude) merupakan sikap yang sangat penting dalam kehidupan individu, dan akan dipertahankannya dengan kuat. Oleh karenanya, sikap tersebut akan relatif imun terhadap perubahan yang inkongruen, tetapi akan lebih mudah berubah secara kongruen. Misalnya, seorang aktivis organisasi ketunanetraan yang memiliki berbagai tujuan yang diperjuangkannya untuk meningkatkan taraf kehidupan para tunanetra, akan sulit untuk dipengaruhi agar mengubah sikapnya supaya tidak terlalu aktif, tetapi akan lebih mudah dipengaruhi untuk meningkatkan perjuangannya. Alasannya sederhana, yaitu bahwa dengan lebih aktif dia akan memperoleh lebih banyak kepuasan.
    2.1.7. Sentralitas Nilai
    Banyak di antara sikap-sikap seorang individu mencerminkan nilai-nilai yang dianutnya - konsepsinya tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik. Suatu sikap yang berakar pada satu nilai yang sentral bagi individu tertentu, dan memperoleh dukungan kuat dari lingkungan budayanya, akan sulit untuk diubah secara inkongruen tetapi akan mudah diubah secara kongruen. Misalnya, individu yang memegang keyakinan bahwa membantu orang cacat itu merupakan satu kebajikan yang bernilai ibadah tinggi, akan mudah untuk diajak meningkatkan ibadahnya dengan berbuat sesuatu untuk membantu tunanetra (perubahan kongruen).

    2.2. Kepribadian dan Modifiabilitas Sikap
    Modifiabilitas sikap juga ditentukan oleh atribut-atribut tertentu dari kepribadian individu. Atribut terpenting dari kepribadian itu adalah: (1) inteligensi, (2)persuasibilitas umum, (3)self-defensiveness (pertahanan diri), dan (4) kebutuhan dan gaya kognitif.


    2.2.1. Inteligensi
    Perbedaan-perbedaan individual dalam inteligensi turut menentukan perbedaan dalam tingkat perubahan sikap. Misalnya, ketika Undang-undang Penyandang Cacat diundangkan pada tahun 1997, ada individu yang cepat bereaksi dengan menentukan sikapnya terhadap isi undang-undang tersebut, tetapi ada pula yang tidak menentukan sikapnya. Perbedaan dalam waktu yang dibutuhkan untuk menentukan sikap itu dapat disebabkan oleh adanya perbedaan dalam inteligensi. Individu dengan tingkat inteligensi yang lebih tinggi cenderung dapat menentukan sikap secara lebih cepat karena dia dapat memahami dan mengevaluasi persoalan dengan lebih baik. Di pihak lain, individu dengan tingkat inteligensi yang lebih rendah, bila sudah terjangkau oleh juru kampanye, mungkin kurang mampu mengevaluasi bahan yang dipropagandakan itu secara kritis sehingga dapat lebih mudah terpengaruh oleh propaganda tersebut. Dan terdapat bukti eksperimental bahwa individu yang tingkat inteligensinya lebih rendah dapat lebih mudah terpengaruh oleh tekanan sikap kelompoknya.

    2.2.2. Persuasibilitas Umum
    Persuasibilitas umum (general per­suasibility atau unbound persuasibility) adalah kesiapan untuk menerima pengaruh sosial tanpa memandang komunikatornya dan topik, isi, media, ataupun situasi komunikasinya. Kebalikannya, terdapat pula berbagai faktor persuasibilitas "terikat" (bound persuasibility), yaitu kecenderungan untuk mudah terpengaruh oleh jenis komunikasi tertentu saja - oleh topik tertentu, bentuk argumen tertentu, gaya komunikasi tertentu, media komunikasi tertentu. Di samping itu, menurut Krech et al., banyak peneliti telah mengamati adanya perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita dalam persuasibilitasnya. Wanita lebih mudah dipengaruhi sikapnya daripada pria. Hal-hal tersebut perlu mendapat perhatian yang seksama dari juru kampanye bila dia ingin berhasil mengubah sikap khalayak sasarannya.

    2.2.3. Self-defensiveness (Pertahanan Diri)
    Krech et al. mengemukakan bahwa terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang yang sangat self-defensive berpegang kuat pada sikap yang menopang harga dirinya. Sesuai dengan itu, penulis dapat mengemukakan contoh bahwa seorang kepala SLB yang merasa terancam kedudukannya oleh bawahannya yang tunanetra mungkin akan selalu berusaha mempertahankan sikapnya bahwa orang tunanetra tidak layak menduduki jabatan kepala sekolah.

    2.2.4. Kebutuhan dan Gaya Kognitif
    Kelman dan Cohler (1959) mengemukakan bahwa orang yang tinggi dalam kebutuhan akan kejelasan kognitifnya akan bereaksi kuat terhadap informasi yang menantang sikapnya. Misalnya, seorang majikan yang memegang sikap bahwa tidak mungkin bagi tunanetra untuk dipekerjakan sebagai programer komputer tidak akan buru-buru mempercayai informasi bahwa teknologi baru telah membuktikan bahwa tunanetra dapat menjadi seorang programer yang kompeten. Namun yang lebih buruk adalah orang yang bereaksi terhadap ambiguitas suatu informasi secara defensif, dengan menolak masuknya elemen-elemen informasi yang dapat mengganggu kognisinya dan menutup dirinya dari informasi yang menantang tersebut, dan karenanya resisten terhadap perubahan yang inkongruen.

    2.3. Afiliasi Kelompok dan Modifiabilitas Sikap
    Sikap yang mempunyai dukungan sosial yang kuat melalui afiliasi individu dengan kelompok sulit berubah. Jika seorang individu menghargai keanggotaannya dalam kelompoknya, dia akan cenderung berpegang pada sikap yang dianut oleh kelompoknya itu demi mempertahankan statusnya. Jadi, jika seorang pengusaha adalah anggota dari sebuah kelompok badan usaha yang menganut norma bahwa para pegawai dalam kelompok tersebut dipersyaratkan untuk memiliki kondisi fisik yang "sempurna", maka pengusaha tersebut sulit untuk mengubah sikapnya guna mempekerjakan seorang tunanetra jika dia ingin mempertahankan statusnya sebagai anggota kelompok badan usaha itu.

    III. Perubahan sikap terjadi melalui pendedahan (exposure) terhadap informasi baru, perubahan dalam afiliasi individu dengan kelompok-kelompok, pemaksaan modifikasi perilaku individu terhadap obyek-obyek, dan melalui teknik-teknik pengubahan kepribadian
    (Guide 20)

    Pembentukan dan perubahan sikap bukan merupakan tahapan yang terpisah-pisah dalam perkembangan sikap. Kedua hal tersebut merupakan fase-fase yang sinambung dalam pertumbuhannya. Oleh karenanya, prinsip-prinsip pembentukan sikap dan prinsip-prinsip perubahan sikap harus konsisten antara satu dengan lainnya. Pembentukan sikap tertentu dari individu ditentukan oleh informasi yang tersedia baginya, afiliasinya
    dengan berbagai kelompok, dan oleh struktur kepribadiannya. Maka perubahan sikap ini pun ditentukan oleh faktor-faktor tersebut.
    Sikap dipergunakan oleh individu untuk membangun dunianya yang bermakna, teratur, dan stabil. Oleh karenanya, kita juga dapat berekspektasi bahwa karena informasi baru cenderung mengubah, memperluas, atau mempersempit dunia individu, informasi tersebut akan cenderung terasimilasi ke dalam sikap yang ada. Bila hal itu terjadi, maka sikapnya pun akan mengalami perubahan. Dan jika kita menginginkan agar perubahan sikap tersebut bersifat positif terhadap ketunanetraan, maka seyogyanya individu itu dibanjiri oleh informasi yang positif mengenai ketunanetraan.
    Sikap individu, yang terbentuk pada saat dia berinteraksi dengan individu-individu lain di dalam kelompok-kelompoknya, mencerminkan keyakinan, norma, dan nilai yang dianut oleh kelompok-kelompoknya itu. Bila dia pindah ke kelompok baru dengan sistem keyakinan yang berbeda, norma yang berbeda, dan nilai yang berbeda, sikapnya akan cenderung menunjukkan perubahan yang akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan tersebut.
    Kadang-kadang memungkinkan untuk mendesak orang untuk mengubah sikapnya dengan memaksanya mengubah perilakunya terhadap obyek tertentu. Banyak faktor yang mempengaruhi proses perubahan seperti ini. Pertama, individu yang "dicekoki" dengan informasi baru kemungkinan akan mengoreksi distorsi autistiknya. Kedua, perubahan yang dipaksakan pada komponen kecenderungan tindakannya (action tendency component) dapat mengakibatkan perubahan dalam komponen-komponen terkait lainnya pada sistem sikapnya atas dasar prinsip konsistensi. Sejauh mana perubahan yang dipaksakan pada perilaku itu akan menghasilkan perubahan sikap akan sangat dipengaruhi oleh keadaan pemaksaannya dan oleh kepribadian individu yang bersangkutan.
    Kepribadian memainkan peranan yang sangat penting. Sikap menentukan kepribadian, dan, sebaliknya, kepribadian individu pun mempengaruhi sikapnya. Saling keterkaitan fungsional antara sikap dan kepribadian itu kompleks dan mendalam. Pengubahan sikap dengan mengubah kepribadian merupakan satu pendekatan yang relatif baru dalam masalah pengubahan sikap.
    Pembahasan yang lebih rinci mengenai dalil di atas serta aplikasinya dalam upaya kampanye kesadaran masyarakat mengenai ketunanetraan akan dipaparkan dalam dalil-dalil berikutnya.

    IV. Arah dan tingkat perubahan sikap yang diakibatkan oleh informasi baru tergantung pada faktor-faktor situasi dan tergantung pada sumber, media, bentuk, dan isi informasi tersebut (Guide 21)

    Di dalam paparan ini, istilah "informasi" didefinisikan secara luas, yang mencakup jenis informasi formal yang diberikan oleh lembaga pendidikan dan lembaga propaganda maupun jenis informasi informal yang diperoleh orang dalam bercakap-cakap dengan orang lain tentang suatu obyek sikap ataupun dalam pengalaman langsung orang itu dengan obyek tersebut.
    Apakah informasi baru akan mengubah sikap atau tidak, tergantung pada hakikat situasi komunikasi, karakteristik komunikator, media komunikasi, dan bentuk serta isi pesan.

    4.1. Situasi Komunikasi
    Tiga karakteristik situasi komunikasi yang mempengaruhi keefektifan juru kampanye adalah: mendengar sendirian versus mendengar berkelompok, komitmen publik versus komitmen pribadi terhadap posisi yang diadvokasikan, dan metode keputusan kelompok versus metode ceramah.

    4.1.1. Mendengarkan Berkelompok
    Mendengarkan secara berkelompok lebih efektif daripada mendengarkan sendirian jika mayoritas kelompok bersikap positif terhadap posisi komunikator, tetapi akan kurang efektif jika komunikator menentang mayoritas. Jadi, jika kita ingin berhasil dalam mengkampanyekan hal-hal yang positif mengenai ketunanetraan kepada sekelompok massa, maka seyogyanya ke dalam kelompok itu kita hadirkan orang-orang "dalam" kita dengan proporsi jumlah yang cukup dominan agar dapat mempengaruhi massa yang menjadi sasaran kampanye tersebut.



    4.1.2. Komitmen Publik
    Cara yang sudah lama dipergunakan oleh para propagandis untuk membuat agar orang mengubah sikapnya adalah dengan menuntutnya membuat komitmen di hadapan publik. Teknik ini berasumsi bahwa jika seseorang sudah menyatakan sikapnya secara publik, akan lebih kecil kemungkinannya bahwa dia mengubah posisinya sebagai akibat dari propaganda tandingan. Merupakan praktek yang sudah umum bahwa jika diundang untuk berbicara dalam upacara-upacara resmi seperti upacara pembukaan seminar atau konferensi, para pejabat publik cenderung menyampaikan komitmen yang mendukung harapan publik yang menghadiri upacara tersebut. Artinya, dalam upacara pembukaan suatu seminar mengenai ketunanetraan, misalnya, pejabat publik itu akan cenderung membuat komitmen untuk melakukan hal-hal yang positif bagi para tunanetra. Oleh karena itu, kegiatan seminar, saresehan, konferensi atau semacamnya, merupakan bentuk kampanye yang efektif.

    4.1.3. Metode Keputusan Kelompok
    Metode keputusan kelompok telah didapati lebih efektif dalam mengubah sikap dan tindakan daripada metode ceramah. Bila suatu peristiwa kampanye ditujukan untuk mengubah sikap dan tindakan guru-guru SD agar bersedia menerima siswa tunanetra sebagai bagian dari kelas inklusif di sekolahnya, tingkat ketercapaian tujuan tersebut akan cenderung lebih tinggi melalui metode keputusan kelompok. Dalam metode ini, setelah guru-guru tersebut menerima informasi dan berdiskusi mengenai sistem pendidikan inklusif, pada akhir diskusi itu mereka diarahkan untuk merumuskan sikap bersama (yang positif) terhadap sistem pendidikan inklusif.

    4.2. Karakteristik Komunikator
    Dalam menentukan efek suatu pesan, siapa yang mengatakan apa sering kali sama pentingnya dengan isi pesan itu sendiri. Agar efektif, juru kampanye harus dipandang sebagai anggota kelompok yang ingin dipengaruhinya - dia harus dipandang sebagai "orang dalam"; dia juga harus dipandang sebagai terpercaya dan menarik bagi kelompok obyek kampanye. Oleh karena itu, hal-hal tersebut harus menjadi bahan pertimbangan bagi lembaga swadaya masyarakat ketunanetraan dalam menentukan juru kampanyenya - sekurang-kurangnya juru kampanye tersebut harus didampingi oleh "orang dalam" kelompok obyek.

    4.3. Media Komunikasi
    Keefektifan suatu propaganda tidak hanya dipengaruhi oleh siapa propagandisnya, tetapi juga oleh medianya (radio, televisi, surart kabar, majalah, pesan dari mulut ke mulut, dll.) yang dipergunakan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pesan dari mulut ke mulut lebih ampuh daripada pesan melalui media massa; tetapi media massa memainkan peranan penting dalam proses pengaruh sosial dan perubahan sosial dengan mempengaruhi para pimpinan opini yang akan meneruskan pesan itu dari mulut ke mulut di masyarakat. Oleh karena itu, penyajian informasi tentang ketunanetraan di media massa tetap sangat penting; dan pesan informasi tersebut akan lebih efektif apabila ditindaklanjuti dengan menggunakannya sebagai bahan "obrolan".

    4.4. Isi dan Bentuk Pesan
    Isi dan bentuk pesan merupakan faktor yang penting untuk menentukan keberhasilan propaganda atau kampanye. Berbagai variabel isi dan bentuk pesan telah diperhadapkan pada studi eksperimental; di antaranya adalah besarnya perubahan yang diadvokasikan, penyajian satu sisi versus penyajian dua sisi, penarikan kesimpulan oleh komunikator versus komunikator tak menarik kesimpulan, dan urutan penyajian.

    4.4.1. Besarnya Perubahan Yang Diadvokasikan
    Manakah yang lebih efektif, propaganda yang dinyatakan secara ekstrim atau yang dinyatakan secara moderat? Studi oleh Hovland dan Pritzker (1957) menunjukkan bahwa semakin besar perubahan yang diadvokasikan, semakin besar perubahan yang dihasilkan: perubahan mean sebesar 0,88 unit skala bila perubahan kecil diadvokasikan; 1.25 bila perubahan moderat diadvokasikan; 1,75 bila perubahan besar diadvokasikan. Korelasi tersebut hampir sama bagi individu yang memegang opini ekstrim maupun yang kurang ekstrim. Ini berarti bahwa jika kita menginginkan terjadinya perubahan besar ke arah sikap bahwa tunanetra mempunyai hak yang sama untuk menjadi pegawai negeri, juru kampanye harus mempromosikannya dengan intensitas yang tinggi.

    4.4.2. Penyajian Satu Sisi Versus Penyajian Dua Sisi
    Apakah propagandis seyogyanya hanya menyajikan argumen yang mendukung posisinya saja (satu sisi), atau apakah seyogyanya dia juga menyajikan argumen tandingannya (dua sisi)? Hasil studi menunjukkan bahwa penyajian dua sisi lebih efektif dalam mempengaruhi perubahan inkongruen; dan penyajian satu sisi lebih efektif dalam menghasilkan perubahan kongruen.
    Hasil studi lainnya menunjukkan bahwa individu yang kurang terpelajar lebih terpengaruh oleh argumen satu sisi, sedangkan individu yang terpelajar lebih dapat menerima argumen dua sisi. Sebagaimana halnya setiap individu lain, individu tunanetra pun memiliki kelemahan di samping kekuatan. Dalam mengkampanyekan ketunanetraan kepada pemerhati yang kurang terpelajar, sebaiknya kelemahan tunanetra tidak disajikan - meskipun tidak boleh ditutup-tutupi, sedangkan bagi pemerhati yang terpelajar, aspek-aspek positif maupun negatif tentang ketunanetraan seyogyanya disajikan untuk dicernak.

    4.4.3. Urutan Penyajian
    Apakah propagandis sebaiknya menyajikan argumen yang positif sebelum argumen yang negatif? Studi oleh McCuire (1957) menunjukkan bahwa bila aspek-aspek yang baik disajikan terlebih dahulu dan aspek-aspek yang negatif kemudian, maka sikap positif akan lebih besar kemungkinannya untuk terbentuk dibandingkan dengan apabila urutan penyajiannya dibalik.

    4.4.4. Penarikan Kesimpulan oleh Komunikator Versus oleh Pemerhati
    Fakta tidak berbicara untuk dirinya sendiri. Fakta yang sama dapat memberikan makna yang berbeda bagi orang yang berbeda. Oleh karena itu, dalam menyajikan fakta-fakta yang ambigu atau kontradiktif, seyogyanya propagandis lebih efektif dalam menanamkan pemahaman dan memperoleh penerimaan pemerhati terhadap interpretasi yang dimaksudkannya mengenai fakta-fakta tersebut dengan menggiring pemerhati ke arah kesimpulan yang merupakan tujuan dari kampanye itu.

    V. Keefektifan afiliasi dengan kelompok baru dalam mempengaruhi perubahan sikap tergantung pada karakteristik kelompok itu dan ditentukan oleh hakikat keanggotaan individu di dalam kelompok tersebut
    (Guide 22)

    Bila seorang individu mengafiliasikan dirinya dengan satu kelompok baru, dia cenderung mengadopsi sikap yang gditentukan oleh nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh kelompok itu. Organisasi-organisasi ketunanetraan pada umumnya menganut sistem keanggotaan yang mengundang orang awas untuk menjadi bagian dari keanggotaannya. Terdapat peraturan-peraturan organisasi yang menentukan hak dan kewajiban anggota awas dalam organisasi ketunanetraan itu agar anggota yang tunanetra tetap dominan dalam pembuatan kebijakan organisasi. Sebagaimana dapat diduga, anggota-anggota awas dalam organisasi ketunanetraan itu pada umumnya memiliki sikap yang positif mengenai ketunanetraan. Hal ini menunjukkan bahwa membuka keanggotaan organisasi ketunanetraan bagi orang awas merupakan cara yang sangat efektif untuk mengembangkan sikap positif masyarakat terhadap ketunanetraan.
    Keefektifan sebuah kelompok dalam menuntun seorang anggota baru untuk mengadopsi "garis kebijakan kelompok", sebagian ditentukan oleh karakteristik kelompok yang mencakup:
    (1) sentralitas norma kelompok yang berkaitan dengan sikap,
    (2) tingkat kebebasan anggota baru itu untuk meninggalkan kelompok tersebut, dan
    (3) keefektifan kekuatan pengawasan dari kelompok itu.
    Di samping itu, tingkat penerimaan anggota baru terhadap sikap yang diharapkan oleh norma-norma kelompok itu sebagian ditentukan oleh karakteristik keanggotaan tersebut. Tiga karakteristik utama keanggotaan yang turut menentukan keefektifan kelompok dalam membentuk sikap anggotanya adalah:
    (1) status anggota baru,
    (2) tingkat penghargaan anggota baru itu terhadap keanggotaannya dalam kelompok itu, dan
    (3) persepsi anggota mengenai keabsahan norma-norma kelompok .

    Jika seorang anggota baru merasa tidak aman dalam statusnya, dia akan cenderung mengambil sikap yang disetujui kelompoknya demi memperoleh penerimaan kelompok dan meningkatkan statusnya tersebut. Tingkat penghargaan individu terhadap keanggotaannya dalam kelompok itu juga akan menentukan otoritas kelompok terhadap dirinya. Dan hanya jika anggota baru itu menerima norma kelompok yang menentukan sikap-sikap tertentu sebagai norma yang absah, maka norma itu akan efektif mengatur perilaku anggota tersebut.

    V. Keefektifan perubahan yang dipaksakan terhadap perilaku dalam upaya mengubah sikap tergantung pada keadaan pemaksaan itu dan reaksi individu terhadapnya (Guide 23)

    Berbagai studi tentang pengaruh perubahan yang dipaksakan dalam perilaku terhadap suatu obyek sikap menunjukkan bahwa perubahan sikap yang besar dapat terjadi. Dalam bagian ini kita akan menelaah pengaruh dua jenis perubahan perilaku yang dipaksakan terhadap sikap:
    (1) Kontak intim dengan anggota kelompok minoritas, yang dipaksakan terhadap individu oleh peraturan perundang-undangan atau oleh keadaan;
    (2) Tuntutan dimainkannya suatu peran (role playing) di mana sikap yang bertentangan dengan sikap individu yang sesungguhnya harus dinyatakan secara publik.

    5.1. Kontak Yang Dipaksakan dan Sikap terhadap Minoritas
    Kontak yang dipaksakan dengan obyek sikap dapat memperkuat ataupun memperlemah sikap yang ada, dapat menghasilkan perubahan kongruen ataupun perubahan inkongruen. Familiaritas dapat menghasilkan rasa sayang ataupun benci.
    Keefektifan perubahan perilaku yang dipaksakan tergantung pada beberapa faktor. Pertama, kontak yang dipaksakan dengan kaum minoritas cenderung mengoreksi distorsi autistik. Bila siswa-siswa tunanetra belajar bersama-sama dengan siswa-siswa awas di sekolah reguler dalam sistem pendidikan terpadu (sebagai implementasi dari Keputusan Mendikbud RI No. 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat), siswa-siswa awas itu akan mempunyai kesempatan untuk lebih mengenal tunanetra. Hal ini dapat mengoreksi sikap purbasangka (prejudice) terhadap tunanetra yang mungkin terdapat dalam diri siswa-siswa itu.
    Kedua, bila terdapat kebutuhan untuk menggabungkan diri dengan obyek yang "negatif", terdapat pula kecenderungan untuk mencari aspek-aspek positif tentang obyek tersebut. Misalnya, bila seorang individu awas (yang mempunyai sikap negatif terhadap ketunanetraan), karena keadaan tertentu, terpaksa berada dalam satu bis dengan sekelompok tunanetra, dia akan cenderung mencari aspek-aspek positif tentang ketunanetraan agar dia dapat merasa nyaman berada di dalam komunitas bis itu. Dengan demikian, terjadi perubahan inkongruen dalam sikapnya.
    Deutsch dan Collins (1951) telah membandingkan hubungan orang Negro dan orang kulit putih dalam dua jenis proyek perumahan - proyek integrasi di mana keluarga-keluarga ditempatkan di apartemen-apartemen tanpa memandang rasnya, dan proyek segregasi di mana keluarga Negro dan keluarga kulit putih ditempatkan di bangunan atau daerah yang berbeda. Data mereka menunjukkan bahwa pengalaman tinggal di proyek perumahan integrasi menghasilkan perubahan sikap ke arah yang positif dalam ketiga komponen sikap - dalam keyakinan tentang orang Negro, dalam perasaan tentang orang Negro, dan dalam kecenderungan tindakan terhadap orang Negro. Perubahan tersebut tidak hanya terhadap orang Negro yang tinggal di proyek itu, tetapi juga terhadap orang Negro pada umumnya - meskipun tingkat perubahannya lebih kecil.

    5.2. Pengaruh Tuntutan Role Playing
    Orang sering dihadapkan pada situasi di mana norma sosial menuntut mereka untuk berperilaku terhadap anggota kelompok minoritas atau terhadap obyek sikap lainnya dengan cara yang berlawanan dengan sikap pribadi mereka. Misalnya, orang yang dalam kehidupan pribadinya memandang rendah orang cacat, jika dia dipertemukan dengan seorang tamu cacat di rumah bosnya, dia akan cenderung berperilaku sopan terhadap tamu tunanetra itu demi menghargai tuan rumah. Hal yang serupa akan ditunjukkan oleh pelayan toko dalam setting hubungan penjual-pembeli demi tuntutan business-nya, dan oleh seorang guru dalam setting sekolah karena tuntutan etika profesionalnya. Apakah sikap pribadi orang-orang ini akan terpengaruh oleh sikap yang mereka tunjukkan secara publik dalam role playing itu? Dalam sebuah studi laboraturium tentang pengaruh role playing pada sikap terhadap orang Negro, Cul­bertson (1957) menunjukkan bahwa para pemain peran menjadi lebih positif sikapnya terhadap orang Negro daripada pengamat permainan peran itu, dan para pengamat itu cenderung berubah ke arah sikap yang lebih positif dibandingkan dengan subyek dari kelompok kontrol yang tidak menyaksikan permainan peran tersebut. Pengaruh positif pengalaman role playing itu juga meluas ke sikap umum dari subyek penelitian terhadap orang Negro.
    Pengaruh role playing di mana orang secara publik mengekspresikan sikap yang berlawanan dengan sikap pribadinya itu tampaknya dapat membawa individu untuk mengadopsi sikap yang ditunjukkannya di depan publik. Jika pemain peran itu mendapat ganjaran persetujuan dari lingkungan sosialnya, dia akan lebih mudah berubah ke arah sikap yang dimainkannya dalam role playing itu; tetapi jika dia tidak memperoleh ganjaran persetujuan, maka sikapnya itu tidak akan begitu mudah berubah. Dengan kata lain, role playing cenderung menghasilkan perubahan sikap bila terdapat dukungan sosial bagi perubahan itu.
    Teori dissonansi kognisi yang dikembangkan oleh Festinger (1957) mengatakan bahwa perubahan sikap yang dihasilkan oleh perubahan tindakan yang dipaksakan itu timbul karena dirasakannya keadaan dissonansi yang tidak nyaman, yang muncul bila seorang individu secara publik mengatakan atau melakukan sesuatu yang berlawanan dengan sikap pribadinya. Satu cara untuk mengurangi keadaan dissonan tersebut adalah dengan mengubah sikap pribadinya itu agar sesuai dengan sikap yang diekspresikannya secara publik.
    VI. Kesimpulan dan Rekomendasi

    Banyak faktor yang menentukan perubahan sikap ataupun persistensi (bertahannya) sikap. Manusia hidup dalam dunia di mana semua faktor yang mempengaruhi perubahan sikap atau persistensi sikap sama-sama aktif, bekerja bersama-sama atau bersilang arah. Hasil akhirnya, yaitu perubahan sikap ataupun persistensi sikap, merupakan produk interaksi yang kompleks antara berbagai faktor penentu. Demi kejelasan pembahasannya, Kretch et al telah memperlakukan faktor-faktor penentu tersebut sebagai terpisah antara satu dengan lainnya. Tetapi sesungguhnya terdapat interaksi di antara faktor-faktor tersebut. Individu-individu terekspos pada informasi baru yang dapat mendukung ataupun bertentangan dengan sikapnya; mereka mungkin mempunyai keinginan atau tujuan yang bervariasi atau bertentangan; kelompok-kelompok di mana mereka berafiliasi mungkin menuntut loyalitas yang antagonistik. Perubahan atau persistensi sikap mereka merupakan hasil akhir dari interaksi yang kompleks antara bermacam-macam kekuatan ini, yang sering saling bertentangan.
    Satu hal yang positif dari inkonsistensi sikap tersebut adalah bahwa kita akan dapat menemukan celah-celah untuk memanipulasi situasi dan teknik guna mencoba mempengaruhi perubahan sikap individu itu ke arah yang kita inginkan. Berikut ini adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan demi keberhasilan kampanye kesadaran masyarakat mengenai ketunanetraan:
    1. Mengekspos sebanyak mungkin informasi yang positif tentang ketunanetraan dalam bentuk, isi, dan media komunikasi yang disesuaikan dengan segmen masyarakat yang menjadi target kampanye.
    2. Berupaya mengafiliasikan sebanyak mungkin individu dengan kelompok advokasi ketunanetraan atau mengafiliasikan para pendukung advokasi ketunanetraan ke dalam kelompok-kelompok masyarakat target.
    3. Mengadvokasikan peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, untuk memaksakan perubahan sikap.
    4. Menciptakan berbagai situasi (seperti seminar, konferensi, pertemuan sosial) yang dapat membuat orang menyatakan sikap yang positif terhadap tunanetra.
    5. Mendorong para individu tunanetra itu sendiri untuk menunjukkan fakta yang dapat menghapus sikap steriotipik dan purbasangka masyarakat mengenai ketunanetraan.

    Referensi Utama:
    Krech, D., Crutchfield, R.S. & Ballachey, E.L. (1982). Individual in Society. Tokyo: McGraw­Hill Kogakusha.

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Daftar Isi